Friday, April 30, 2010

Sepuluh Perintah Allah-Museumkan Saja?



Judul : Sepuluh Perintah Allah-Museumkan Saja?
Pengarang : Eka Darmaputera

Dalam ibadah-ibadah sekarang ini, “Dasa Titah” atau “Sepuluh Perintah Allah” semakin jarang terdengar, baik di gereja-gereja “tua” yang “tradisional” maupun di gereja-gereja “baru” yang lebih “kontemporer”. Jika dalam ibadah formal saja Dasa Titah ini sudah dipandang sebelah mata, apalagi dalam kehidupan sehari-hari, betapa buruk nasibnya dalam kehidupan nyata. Di zaman modern ini, ada tiga alasan untuk memuseumkan Dasa Titah. Pertama, Dasa Titah mengekang hidup kita. Sekarang sudah zaman merdeka! Jangan sampai kita kehilangan kemerdekaan hanya karena kita masih memegang erat Dasa Titah? Kedua, Dasa Titah hanyalah peninggalan bangsa Israel-zaman kuno. Apakah kita-warga Indonesia yang hidup di abad ke-21-masih perlu melaksanakannya? Ketiga, Dasa Titah adalah produk Perjanjian Lama. Hukum kasih dalam Perjanjian Baru lebih akurat untuk kita ikuti!
Namun, bila orang dapat mengemukakan tiga alasan mengapa Dasa Titah layak dilupakan, buku ini mengungkapkan jauh lebih banyak alasan mengapa kita justru perlu kembali mengingatnya. Mengapa kita harus menyadari maknanya yang abadi, serta menemukan kembali kekayaan spiritualnya.

Ada dua alasan utama, mengapa Dasa Titah tetap relevan untuk dibicarakan. Pertama, adalah salah jika karena kita “umat PB”, maka kita boleh mencampakkan semua yang berbau PL, termasuk Dasa Titah. Yang tidak boleh dilupakan adalah Hukum Kasih berdasar dan berakar dari Dasa Titah. Tanpa mempelajari Dasa Titah, kita tak mungkin mengenal etika kristiani selengkap-lengkapnya. Kedua, Dasa Titah bukan semata-mata etikanya orang Yahudi dan orang kristiani saja. Dasa Titah mengandung nilai-nilai yang universal. Siapa saja yang berniat membangun kehidupan bersama yang baik, tertib, serta sejahtera, suka tidak suka harus menyepakati nilai-nilai Dasa Titah sebagai pegangan normatif bersama.

Sebaliknya, ketika nilai-nilai tersebut diabaikan, maka-seperti sekarang ini- kehidupan porak poranda, tak utuh, dan tak penuh lagi. Ini membuktikan betapa manusia tidak Cuma perlu “bebas”, tetapi juga perlu “batas”. Orang-orang modern harus mengakui bahwa pmedekatan yang “negatif” ada gunanya. Karenanya, kita harus kembali belajar, bagaimana mengatakan “jangan”, jangan cuma bisa bilang “silakan”.
Dalam kaitan ini, Dasa Titah menemukan kembali relevansinya dalam masa kini. Tiap-tiap pasal dalam Dasa Titah mutlak perlu menempati tempat yang sentral dan vital dalam kehidupan manusia masa kini. Buku ini memaparkan penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dari Dasa Titah dalam konteks kehidupan masa kini, seperti bentuk-bentuk pemberhalaan modern, isu hukuman mati dan Eutanasia, peperangan, kehidupan pernikahan dan seksual, homoseksual, praktik-praktik ekonomi dan hukum, dsb.

No comments:

Post a Comment